Sunday, November 15, 2009

Orang Hilang Ada Orang Pecah
















Ada orang hilang. Tapi ada orang pecah juga. Presiden yang telah membunuh demokrasi, jatuh. Tangan dan lehernya mengeluarkan gergaji. Tapi dewan perwakilan rakyat harus dibuat lagi. Seperti membuat matahari dari daun pisang. Ada orang hilang, kata Tita. Tanah telah memuntahkan tubuhnya kembali. Sepatu tentara berjatuhan dari mulutnya. Ada orang hilang. Gedung parlamen berbau mayat, dapurnya juga berbau mayat. Presiden harus dibuat lagi. Kabinet harus dibuat lagi. Tapi ada orang hilang, kata Tita. Matanya ditutup politik yang terbuat dari gergaji. Tanah muntah. Tak bisa lagi menumbuhkan tanaman. Ada orang pecah. Tanaman muntah. Tak bisa lagi berbuah. Hutan membakar dirinya sendiri, seperti apa di jari-jemari tanganku. Bangunan juga telah membakar dirinya sendiri. Ada orang dibakar, terbakar. Ada orang diperkosa. Ada negeri diperkosa juga. Tanah diperkosa. Tita, ada orang hilang, seperti aku menculik diriku sendiri semalam. Parlemen harus dibuat. Mahasiswa menyerahkan badannya di depan tombol diktaktor. Tapi berbisik-bisik … ada orang hilang. Tema-tema pecah, seperti bayangan negeri ini. Tapi berteriak juga: ada orang hilang! Mayat yang gosong. Kepercayaan yang telah menyimpan mayat. Ada bahasa yang mengancam lehermu. Kepercayaan yang pecah. Ah, apa kabar amerika? Tanah yang pecah juga oleh kekerasan bahasa politik. Anak-anak tak bisa minum susu, tak bisa sekolah. Buku-buku mahal. Padi tak berbuah lagi. Ada gunung meletus. Rakyat harus dibuat. Demo harus dibuat. Ada tempat penyiksaan. Tulang-tulang digali dari lehermu. Pintu parlemen digergaji. Tita, ada orang hilang. Tapi ada orang pecah juga, seperti bayangan negeri ini. Ada matahari, lembut, terbuat dari daun pisang. Kemari. Dengar. Ini negeri untukmu. Jangan begitu memandangku. Aku mayat. Mayat politik. Yang pernah diculik. Di siksa. Jangan menguburku seperti itu, seperti mengubur negeri ini. Jangan. Kemari. Dengar. Ini tanganku. Masih hangat. Seperti pembalut politik yang telah menutup matamu. Kemari. Mari. Masih ada seratus tahun lagi di sini, ini, di tanah ini.


Oleh: Afrizal Malna
1998
Horison, September 2000

No comments:

Post a Comment

Blog Archive